Semua yang tampak tenang di permukaan, belum tentu natural. Semua yang terlihat ramai, belum tentu tulus. Ada tangan-tangan tersembunyi yang mengatur alur, menentukan dialog, dan mengarahkan kamera. Itulah yang sedang kita hadapi hari ini: sebuah drama politik, hasil skenario GENK SOLO.
Babak Pertama:
Rumah Mulyono Disulap Jadi Panggung Cinta Palsu
Rumah Mulyono tiba-tiba berubah fungsi. Bukan sekadar tempat tinggal, melainkan panggung pertunjukan. Para warga dipanggil, dijamu makan, bahkan diberi oleh-oleh untuk dibawa pulang. Seolah-olah itu bukti cinta rakyat. Padahal semuanya diatur. Bahkan ekspresi pun dilatih: tangis pura-pura, pelukan palsu, rintihan “kami rindu Pak Mulyono.” Drama murahan yang dipaksa terlihat mewah.
Babak Kedua:
Mesin Propaganda Bergerak
Di balik layar, Mulyono mengundang Youtuber dan buzzer. Mereka tidak datang untuk menanyakan kebenaran, melainkan untuk memproduksi konten puja-puji. Narasi disiapkan: Mulyono dipoles jadi pahlawan, jadi tokoh dambaan. Video yang lahir bukan cermin realitas, melainkan imajinasi yang dipaksa jadi kenyataan.
Setelah itu, mesin propaganda bekerja. Akun-akun ternak alias termul mulai bergerak serentak. Satu komando, satu judul: “Rindu Pak Mulyono.” Seperti paduan suara yang fals, tapi diputar keras-keras supaya dianggap merdu. Lalu muncul seri lanjutan: “Mulyono Presiden Terbaik.” Seakan rakyat benar-benar bersuara, padahal itu hanya gema dari ruang gelap buzzer.
Babak Ketiga:
Memanfaatkan Celah, Menggoreng Isu
Mereka tak berhenti di situ. Setiap momentum jadi bahan gorengan. Kenaikan pajak di Pati—yang mestinya bisa disikapi dengan bijak—disulap jadi amunisi politik untuk mengguncang pemerintahan Prabowo. Isu amnesti dan abolisi terhadap Hasto dan Tom Lembong dijadikan bahan bakar: “Ini bukti Prabowo lemah, ayo lengserkan!”
Di sini terlihat jelas, tujuan mereka bukan memperjuangkan rakyat. Tujuan mereka adalah mengguncang stabilitas. Mengacaukan sistem. Membuat suasana panas, supaya peluang perebutan kekuasaan terbuka lebar.
Babak Keempat:
Joget-joget Politik
Siapa yang tidak tergelak melihat wakil rakyat joget-joget di gedung Dewan? Publik marah, menganggap itu pelecehan terhadap rakyat. Tapi ingat: itu bukan spontanitas. Itu skenario. Ada sutradara yang mengatur gerakan, ada aktor yang sengaja ditampilkan. Dan perhatikan: Fufufafa tidak ikut joget-joget. Kenapa? Supaya ia tampil “berbeda,” seakan pro rakyat. Padahal itu bagian dari naskah besar.
Begitu adegan selesai, termul langsung menggoreng isu itu tanpa henti. Joget dipelintir, diprovokasi, dibesar-besarkan. Tujuannya bukan sekadar kritik, melainkan untuk memicu ajakan demo. Dan benar: demo pun bergulir. Teriakan “Bubarkan DPR!” dikumandangkan, padahal mereka sendiri tahu itu nyaris mustahil.
Babak Kelima:
Chaos, Jalan Menuju Lengser
Lalu di mana inti permainan?
Mereka tahu membubarkan DPR itu sulit. Tapi mereka tidak peduli. Karena yang mereka incar bukan hasil formal, melainkan kekacauan. Chaos. Negara dibuat tidak stabil, rakyat dibuat panik, aparat dibuat sibuk. Dan ketika itu terjadi, tuduhan diarahkan ke Presiden: “Prabowo tidak mampu menjaga keamanan!”
Dari sinilah narasi besar diluncurkan: Prabowo harus turun. Siapa yang disodorkan sebagai pengganti? Tentu saja Fufufafa si omes (otak mesum). Dengan begitu, oligarki Genk Solo kembali berkuasa.
" Pertanyaan Untuk Kita Semua "
Sekarang mari bertanya dengan jujur:
Apakah kita, rakyat berakal sehat, mau ikut arus ini?
Apakah kita mau jadi bagian dari termul yang kerjanya melawan kewarasan, menyebar kepalsuan, dan merusak nalar publik?
Kalau mau turun ke jalan, jangan mau diarahkan Genk Solo. Kalau mau demo, datanglah langsung ke Presiden Prabowo dengan tuntutan yang nyata dan logis:
Bersihkan kabinet dari antek-antek Genk Solo.
Pecat semua menteri yang tidak becus bekerja.
Adili Mulyono si pemilik ijazah palsu.
Makzulkan Fufufafa yang jadi boneka oligarki.
Solusi Nyata:
Berdaya Secara Ekonomi & Mental
Namun, ada yang lebih penting lagi dari sekadar teriak di jalan. Kita harus berdaya. Karena selama kita hanya menggantungkan hidup dari gaji atau upah, kita tetap dalam posisi lemah. Baik karyawan swasta maupun pegawai negeri, selama hanya mengandalkan selembar slip gaji, kita belum benar-benar merdeka. Tidak independen. Tidak bebas.
Konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Tapi apa artinya kedaulatan kalau rakyat masih menggantungkan hidup pada majikan, atasan, atau negara? Kedaulatan sejati dimulai dari keberdayaan diri. Dari ekonomi yang mandiri. Dari mental yang merdeka.
Ajakan:
Diskusi untuk Solusi
Karena itu, mari kita berhenti jadi penonton drama murahan Genk Solo. Mari kita mulai menulis skenario baru: skenario rakyat berdaya.
Saya, Coach Kaffa, mengundang Anda semua (pelajar , mahasiswa, pemuda, aktivis, penggerak komunitas, pimpinan ormas, civil society NGO, pekerja, pensiunan, emak-emak) ikhwan dan akhwat dalam diskusi terbuka:
CATAT WAKTUNYA:
📅 Senin malam, 8 September
🕗 Pukul 20:15 WITA
💻 Online via Zoom
Dapatkan akses ZOOM dengan Mengisi Form dan Klik Tombol Daftar.
Mari hadir, mari berpikir bersama. Karena masa depan Indonesia tidak boleh ditentukan oleh drama Genk Solo, melainkan oleh kita: rakyat berakal sehat yang berdaya dan merdeka dengan ridho Allah. Barokallahu fiikum.